03. Reformasi Budaya
Kedatangan para reformis Islam dari Timur Tengah
pada akhir abad ke-18, telah menghapus adat budaya Minangkabau yang
tidak sesuai dengan hukum Islam. Budaya menyabung ayam, mengadu
kerbau, berjudi, minum tuak, diharamkan dalam pesta-pesta adat
masyarakat Minang. Para ulama yang dipelopori oleh Haji Piobang,
Haji Miskin, dan Tuanku Nan Renceh mendesak kaum adat untuk
mengubah pandangan budaya Minang yang sebelumnya banyak berkiblat
kepada budaya animisme dan Hindu-Budha, untuk berkiblat kepada
syariat Islam.
Reformasi budaya di Minangkabau terjadi setelah
perang Paderi yang berakhir pada
tahun 1837.
Hal ini ditandai dengan adanya perjanjian di Bukit
Marapalam antara alim ulama, tokoh adat, dan cerdik pandai.
Mereka
bersepakat untuk mendasarkan adat budaya Minang pada syariah Islam.
Hal ini tertuang dalam adagium Adat basandi syarak, syarak
basandi kitabullah. Syarak mangato adat mamakai (Adat
bersendikan kepada syariat, syariat bersendikan kepada Al Quran).
Sejak reformasi budaya dipertengahan abad ke-19, pola pendidikan
dan pengembangan manusia di Minangkabau berlandaskan pada
nilai-nilai islam.
Sehingga sejak itu, setiap kampung atau jorong
di Minangkabau memiliki mesjid, disamping surau yang ada di
tiap-tiap lingkungan keluarga.
Pemuda Minangkabau yang beranjak
dewasa, diwajibkan untuk tidur di surau.
Di surau, selain belajar
mengaji, mereka juga ditempa latihan fisik berupa ilmu bela diri
pencak silat.